PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA MOBILE PAYMENT DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA MOBILE PAYMENT

DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA

Dosen Pengampu: Afrida Putritama, S.E., M.Sc.Ak.

 

Disusun oleh:

Olivia Puspita Ningrum          (19803241027)

Dewi Rohimma                       (19803241031)

Ramadian Ade Kurniawan     (19803241044)

 

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI

JURUSAN PENDIDIKAN AKUNTANSI

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2021


PENDAHULUAN

Seiring berkembangnya zaman, teknologi dibuat semakin beraneka ragam untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kebutuhan yang terus meningkat, mobilisasi manusia yang semakin cepat, dan juga kesibukan manusia yang selalu bertambah memaksa adanya fasilitias yang dapat memenuhi itu semua. Salah satu teknologi yang semakin populer di masyarakat Indonesia adalah Financial Technology atau sering disebut Fintech. Fintech merupakan suatu inovasi pada sektor finansial yang diungkapkan dalam The National Digital Research Centre (NDRC). FinTech dipandang sebagai salah satu teknologi yang akan merevolusi industri perbankan dan telah menerima perhatian global sebagai teknologi menantang yang akan memberdayakan perusahaan untuk bersaing secara efektif dalam revolusi industri 4.0 (Wonglimpiyarat, 2017).

Berkaitan dengan adanya layanan Fintech di Indonesia, Mobile Payment merupakan  salah satu bagian dari fintech yang termasuk dalam kategori payment yang sering digunakan oleh masyarakat Indonesia. Adanya financial technology mempermudah apa yang sebelumnya dirasa sulit oleh masyarakat dan memakan banyak waktu. Fintech juga dapat membuat penggunannya melakukan tranksaksi online dimana saja dan kapan saja.

Namun, untuk saat ini sampai dengan Desember 2020 sangat dikhawatirkan bahwa total jumlah penyelenggara Fintech terdaftar dan berizin adalah hanya sebanyak 152 perusahaan (DailySocial & DSResearch). Tentunya ada banyak fintech yang illegal di luar sana. Dilansir dari CNBC Indonesia, ada sekitar 113 ilegal yang ditemukan dan ditutup oleh OJK. Hal tersebut, tentu saja meresahkan masyarakat terutama masyarakat awam yang mudah terbuai bujuk rayu persyaratan yang mudah oleh Fintech ilegal tanpa mengetahui resiko yang akan didapatkan. Oleh karena itu, perlindungan hukum penting bagi pengguna aplikasi Fintech sebagai bentuk kepastian hukum bagi penggunanya.

 

KAJIAN PUSTAKA

A.    Financial Technology

Financial technology secara umum dapat diartikan sebagai sebuah inovasi teknologi dalam layanan transaksi keuangan. Menurut peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang penyelenggaraan teknologi finansial, teknologi finansial merupakan penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru serta dapat memberi dampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelancaran, keamanan, serta keandalan sistem pembayaran. Lebih lanjut menurut peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang penyelenggaraan teknologi finansial, dilaksanakannya teknologi finansial bertujuan untuk mendorong inovasi di bidang keuangan dengan menerapkan perlindungan konsumen serta manajemen resiko dan kehati-hatian agar tetap menjaga stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan sistem pembayaran yang efisien, lancar, aman, serta andal. Selain itu, ruang lingkup dalam teknologi finansial yang wajib diikuti oleh entitas bisnis adalah mulai dari pendaftaran, regulatory sandbox, perizinan dan persetujuan, hingga pemantauan serta pengawasan.

Carney (2016) menjelaskan bahwa teknologi keuangan berawal dari sektor keuangan dalam perekonomian yang menjadi sektor kunci dan terus berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Teknologi keuangan saat ini tidak hanya diterapkan di negara maju saja, tetapi juga mulai muncul dan tumbuh di negara berkembang, seperti Indonesia. Adanya financial technology membawa harapan baru bagi masyarakat untuk memberikan kemudahan dalam melakukan berbagai macam transaksi keuangan dalam berbagai sektor.

B.     Pembayaran Seluler (Mobile Payment)

Pembayaran Seluler (mobile payment) merupakan pembayaran yang dilakukan dengan setidaknya oleh satu perangkat Seluler (mobile device) (Ondrus & Pigneur, 2007) dan (Smart Card Alliance, 2008). Mobile payment juga diartikan sebagai sebuah pembayaran dimana mobile device digunakan sebagai media awal pembayaran hingga konfirmasi pembayaran (Boer & de Boer, 2010). Dalam melakukan pembayaran, mobile payment menggunakan perangkat bergerak termasuk wireless handsets, personal digital assistants (PDA), dan radio frequency (RF) serta Near Field Communication (NFC) (Dewan & Chen, 2005). Kemudian, daya tarik inovasi pada sektor secara umum mobile payment masuk pada enam industri yaitu institusi keuangan (financial institution), mobile network operators (MNOs), technology providers, handset manufactures, merchants, and consumers (Boer & de Boer, 2010).

C.    Hukum Perlindungan Konsumen

Az. Nasution (1999) menyebutkan bahwa “hukum perlindungan konsumen merupakan aturan yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen”. Hukum perlindungan konsumen juga diartikan sebagai keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup (Eli,2015).

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 nomor 1 menyebutkan bahwa “perlindungan konsumen merupakan segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum bagi konsumen merupakan sebuah perangkat hukum yang diciptakan oleh lembaga pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum dan jaminan kepastian hukum bagi para konsumen dari berbagai macam permasalahan ataupun sengketa konsumen karena merasa dirugikan oleh pelaku usaha. (Eli,2015).

Kepastian perlindungan hukum kepada konsumen dapat dilakukan dengan cara memberikan pendidikan bagi konsumen guna meningkatkan harkat dan martabatnya. Pelaku usaha juga dapat membuka akses informasi secara jujur dan terbuka yang berkaitan dengan kondisi bahkan jaminan atas barang dan/atau jasa yang diperdagangkan kepada konsumen. Selain itu, sikap pelaku usaha atau produsen yang jujur dan memiliki tanggung jawab tinggi terhadap konsumen juga sangat dibutuhkan, sehingga mereka yang merasa dirugikan dapat menuntut ganti kerugian dan dipenuhi oleh pelaku usaha. Dengan adanya cara-cara dan sikap tersebut maka permasalahan perlindungan konsumen yang masih banyak terjadi akan dapat diminimalisir bahkan terselesaikan dengan baik karena antara pelaku usaha dan konsumen mengerti dan memahami hak dan kewajibannya masing-masing.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN


A.    Perlindungan Hukum bagi Pengguna Mobile Payment

Mobile Payment didefinisikan sebagai berbagai fungsi yang diadakan melalui teknologi ponsel untuk melakukan pembayaran, transfer bank, e-Wallets, dan transfer peer-to-peer (transfer uang antara dua individu secara real-time). Berdasarkan penelitian terdahulu dari Putriutama (2019) ditemukan bahwa kenyamanan adalah faktor terkuat yang mempengaruhi persepsi manfaat mobile payment, terutama karena pengguna mobile payment dapat menggunakan layanan keuangan dengan mudah kapan saja, dan di mana saja. Kenyamanan memiliki dampak positif terkuat pada manfaat yang dirasakan, yang kemudian meningkatkan niat penggunaan mobile payment (Putritama, 2019). Akan tetapi disamping manfaat yang diperoleh, konsumen atau mobile payment juga memiliki resiko atau tantangan dalam menggunakan mobile payment salah satunya e-Wallet seperti penggunaan Go Pay, OVO, Dana atau yang lainya.  Resiko atau tantangan dapat berasal dari aplikasi itu sendiri ataupun dari pihak yang tidak bertanggung jawab yang dapat merugikan pengguna. Oleh karena itu, diperlukan perlindungan hukum agar konsumen mendapatkan keamanan serta kenyamanan dalam menggunakan mobile payment.

Perlindungan konsumen telah diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). UUPK memberikan harapan bagi konsumen atau pengguna mobile payment untuk memperoleh perlindungan atas jasa layanan pembayaran maupun transaksi lainya. UUPK menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen. Perlindungan konsumen menurut UUPK adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan terhadap konsumen. Tujuan adanya perlindungan konsumen dalam UUPK salah satunya yaitu meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen (Septiyati, 2019). Dengan demikian UUPK menjadi payung hukum untuk melindungi konsumen di Indonesia termasuk pengguna mobile payment. Akan tetapi konsumen atau pengguna juga perlu berhati-hati dalam memilih atau menggunakan jenis mobil payment agar terhindar dari aplikasi yang abal-abal ataupun kejahatan lainya. Dalam rangka menjaga kepercayaan konsumen mobile payment juga perlu mendaftarkan perusahaanya ke Otoritas Jasa Keuangan dan kegiatan operasionalnya telah memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan juga Bank Indonesia.

Pada tahun 2016, peraturan mengenai fintech pertama kali dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK mengeluarkan aturan tersebut atas dasar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK berperan dalam pengembangan bisnis Fintech karena OJK adalah lembaga negara independen yang berwenang mengatur dan mengawasi lembaga jasa keuangan. Bisnis Fintech merupakan inovasi finansial dengan sentuhan teknologi modern, bisnis Fintech memanfaatkan perkembangan teknologi informasi untuk menciptakan inovasi baru   di   sektor   jasa   keuangan, yang   lebih   cepat   dan   mudah   digunakan. Dalam perkembangan bisnis Fintech, pada tahun 2016 oleh Otoritas Jasa Keuangan hanya diatur satu jenis saja yaitu Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, telah bertambah jenisnya. Jenis-jenis Bisnis Fintech tahun 2017 oleh Bank Indonesia menjadi lima jenis Fintech yaitu: Sistem Pembayaran, Pendukung pasar, Manajemen investasi dan manajemen risiko, Pinjaman, Pembiayaan, dan Penyediaan Modal, dan Jasa Finansial lainnya. Pada tahun 2018 Otoritas Jasa Keuangan melalui POJK Nomor 13/POJK.02/2018 Tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan, mengatur jenis-jenis Fintech menjadi tujuh jenis yaitu: Penyelesaian Transaksi, Penghimpunan Modal, Pengelolaan Investasi, Penghimpunan dan Penyaluran Dana, Perasuransian, Pendukung Pasar, Pendukung keuangan digital lainnya, dan aktivitas jasa keuangan lainnya (Benuf & dkk, 2020). Selain peraturan yang ditetapkan oleh OJK, pihak penyelenggara bisnis fintech mobile payment juga harus mematuhi peraturan dan persyaratan yang tetapkan oleh BI.

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No.18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran, penyelenggara Teknologi Finansial wajib melakukan pendaftaran. Tata cara pendaftaran bagi Penyelenggara Teknologi Finansial diatur sebagai berikut (Anindita, Aminah, & Ispriyarso, 2020):

1.      Penyelenggara Teknologi Finansial harus merupakan badan usaha.

2.      Untuk penyelenggara Teknologi Finansial berupa lembaga selain Bank yang memenuhi kategori sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran, Penyelenggara Teknologi Finansial tersebut harus merupakan badan usaha yang berbadan hukum Indonesia.

3.      Penyelenggara Teknologi Finansial menyampaikan permohonan pendaftaran secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh pihak yang berwenang mewakili Penyelenggara Teknologi Finansial.

4.      Permohonan pendaftaran disertai dengan Pengisian dan pengiriman formulir pendaftaran dan Penyampaian dokumen pendukung.

5.      Penyelenggara Teknologi Finansial harus memastikan kebenaran atas seluruh dokumen yang dituangkan dalam surat pernyataan bermaterai cukup sesuai dengan format yang telah ditentukan oleh Bank Indonesia dan ditandatangani oleh pihak yang berwenang mewakili Penyelenggara Teknologi Finansial.

6.      Pengisian formulir serta penyampaian permohonan dan dokumen pendukung dilakukan melalui sarana pendaftaran secara online melalui website resmi Bank Indonesia yaitu www.bi.go.id.

7.      Apabila sarana pendaftaran secara online belum tersedia, maka pendaftaran dilakukan dengan mengirimkan melalui e-mail ke alamat BIFintechOffice@bi.go.id atau dalam bentuk surat kepada Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran c.q. Bank Indonesia FinTech Office Komplek Perkantoran Bank Indonesia, Gedung Thamrin Lantai 4, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350.

Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di Bank Indonesia wajib menyampaikan surat pernyataan kepatuhan atas kewajiban bagi Penyelenggara Teknologi Finansial dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak Penyelenggara Teknologi Finansial terdaftar di Bank Indonesia. Tahapan selanjutnya adalah Regulatory Sandbox. Regulatory Sandbox adalah suatu ruang uji coba terbatas yang aman untuk menguji Penyelenggara Teknologi Finansial beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya. Tujuan dari adanya Regulatory Sandbox adalah guna memberi ruang bagi Penyelenggara. Apabila uji coba dinyatakan berhasil dan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya termasuk Teknologi Finansial kategori sistem pembayaran, maka Penyelenggara Teknologi Finansial dilarang memasarkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang diujicobakan tersebut sebelum terlebih dahulu mengajukan permohonan izin dan/atau persetujuan kepada Apabila permohonan izin dan/atau persetujuan tersebut telah diterima oleh Bank Indonesia, Penyelenggara Teknologi Finansial dapat memasarkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya sesuai dengan skenario uji coba dalam Regulatory Sandbox yang telah dilaksanakan sampai dengan Bank Indonesia memberikan keputusan atas permohonan izin dan/atau persetujuan yang telah disampaikan oleh Penyelenggara Teknologi Finansial  (Anindita, Aminah, & Ispriyarso, 2020). Peraturan baik bagi penyelenggara teknologi finansial baik yang ditetapkan oleh OJK maupun BI merupakan salah satu bentuk upaya perlindungan konsumen atau pengguna dari oleh penyelenggara teknologi finansial termasuk di dalamnya mobile payment yang curang.

B.     Penerapan Perlindungan Hukum bagi Pengguna Mobile Payment

Bank Indonesia juga mewajibkan diterapkannya prinsip perlindungan konsumen oleh penyelenggara jasa pembayaran. Bank Indonesia juga turut melakukan pengawasan terhadap penerapan ketentuan perlindungan konsumen oleh penyelenggara. Sebagai bentuk upaya penerapan prinsip perlindungan consume dalam penyelenggaraan jasa pembayaran, Bank Indonesia secara khusus mengatur dalam peraturan mengenai perlindungan konsumen dalam kegiatan jasa pembayaran yaitu Peraturan Bank Indonesia No. 16/1/PBI/2014 Tentang Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran. Selain pengaturan secara khusus, Indonesia juga memiliki aturan perlindungan konsumen secara umum. Adanya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen juga merupakan salah satu cara untuk melindungi konsumen dari kemungkinan kerugian yang didapatkan atas perlakuan pelaku usaha. Kerugian yang dialami oleh konsumen bisa terjadi tidak sebatas pada kegiatan transaksi jual beli produk, melainkan juga jasa, termasuk pada penyelenggaraan jasa pembayaran (Anindita, Aminah, & Ispriyarso, 2020).

Salah satu bentuk perlindungan konsumen dalam penyelenggaraan jasa pembayaran berbasis teknologi yaitu mobile payment adalah penyelenggara Teknologi Finansial wajib untuk menjaga kerahasiaan data dan/atau informasi konsumen termasuk data dan/atau informasi transaksi. Penyelenggara juga dilarang memberikan data dan/atau informasi konsumen kepada pihak lain kecuali konsumen memberikan persetujuan secara tertulis dan/atau diwajibkan oleh peraturan perundang – undangan yang berlaku sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 15 Peraturan Bank Indonesia No. 16/1/PBI/2014 Tentang Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran. Penyelenggara jasa sistem pembayaran wajib memiliki dan melaksanakan mekanisme penanganan pengaduan bagi konsumen secara cepat dan efisien. Mekanisme penanganan pengaduan wajib diberitahukan kepada konsumen. Penyelenggara wajib menindaklajuti dan menyelesaikan pengaduan yang disampaikan oleh konsumen. Asas pokok dari ganti rugi sebagai akibat pelanggaran atau wanprestasi adalah bahwa penggugat seharusnya diberi ganti rugi, tetapi tidak lebih daripada ganti rugi untuk setiap kerugian yang ia derita sebagai akibat dari pelanggaran yang dilakukan tergugat. Dengan adanya ketentuan tentang pembatasan ganti rugi dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata, telah memberikan perlindungan kepada pihak yang melakukan wanprestasi (Anindita, Aminah, & Ispriyarso, 2020). Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa ganti rugi dibatasi yang meliputi kerugian yang dapat diduga dan yang menjadi akibat langsung dari wanprestasi.

Bank Indonesia juga memberikan fasilitas untuk mewujudkan penerapan prinsip perlindungan konsumen dalam penyelenggaraan jasa sistem pembayaran. Konsumen dapat juga menyampaikan pengaduan kepada Bank Indonesia, namun tidak semua pengaduan dapat ditindaklanjuti oleh Bank Indonesia. Pengaduan yang dapat ditindaklanjuti oleh Bank Indonesia memiliki syarat sebagai berikut (Anindita, Aminah, & Ispriyarso, 2020):

1.      Konsumen telah menyampaikan pengaduan kepada penyelenggara dan telah ditindaklanjuti oleh penyelenggara, namun tidak terdapat kesepakatan antara konsumen dengan penyelenggara;

2.      Masalah yang diadukan merupakan masalah perdata yang tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan atau belum terdapat kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga mediasi;

3.      Konsumen mengalami potensi kerugian finansial yang ditimbulkan oleh penyelenggara dengan nilai tertentu yang ditentukan oleh Bank Indonesia.


PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Fintech merupakan suatu inovasi pada sektor finansial yang memberikan kemudahan pada masyarakat dalam berbagai macam transaksi keuangan. Mobile Payment merupakan salah satu bagian dari fintech yang termasuk dalam kategori payment yang sering digunakan oleh masyarakat Indonesia. Namun, ternyata saat ini di Indonesia masih banyak penyelenggara fintech yang illegal sehingga hal tersebut menyebabkan keresahan pada masyarakat. Oleh karena itu, perlindungan hukum dianggap sangat penting bagi pengguna aplikasi fintech sebagai bentuk kepastian hukum.

Perlindungan konsumen telah diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang bertujuan untuk meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, serta menuntut hak-haknya sebagai konsumen. Selain itu, OJK juga mengeluarkan aturan atas dasar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa mobile payment perlu mendaftarkan perusahaanya ke Otoritas Jasa Keuangan dan kegiatan operasionalnya dalam rangka menjaga kepercayaan konsumen.

Bank Indonesia juga mewajibkan diterapkannya prinsip perlindungan konsumen oleh penyelenggara jasa pembayaran dan juga turut melakukan pengawasan terhadap penerapan ketentuan perlindungan konsumen oleh penyelenggara yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia No. 16/1/PBI/2014 Tentang Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran.

B.     SARAN

Dalam setiap perusahaan, kepercayaan konsumen adalah prioritas utama. Oleh karena itu, setiap perusahaan sebaiknya memperhatikan segala hal yang dapat meningkatkan kepercayaan konsumen salah satunya adalah perlindungan hukum. Selain itu, sebagai konsumen juga harus lebih berhati-hati dalam memilih atau menggunakan jenis mobile payment agar terhindar dari aplikasi yang ilegal ataupun kejahatan lainya.


DAFTAR PUSTAKA

Anindita, I. R., Aminah, & Ispriyarso, B. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Layanan Pembayaran Berbasis Teknologi di Indonesia. NOTARIUS, XIII(2), 516-530.

Az. Nasution, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Cetakan Pertama 1999, Daya Widya.

Benuf, K., & dkk. (2020). PENGATURAN DAN PENGAWASAN BISNIS FINANCIAL TECHNOLOGYDI INDONESIA. Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi, XI(2), 46-69.

Bestari,Novina Putri.2021. Awas Tertipu! Ini 113 Fintech Ilegal yang Ditutup OJK.CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/tech/20210129120047-37-219634/awas-tertipu-ini-113-fintech-ilegal-yang-ditutup-ojk

Boer, R., & de Boer, T. (2010). Mobile payments 2010. (C. Liezenberg & E. Achterberg, Eds.). Innopay.

Carney, M. (2016). Enabling the fintech transformation: Revolution, Restoration, or Reformation. BoE Speech.

DailySocial&DSResearch. 2020. Fintech Report 2020.CIMB NIAGA

Dewan, S. G., & Chen, L. (2005). Mobile Payment Adoption in the Us : a Cross-Industry Cross-Platform Solution. Journal of Information Privacy & Security, 1(October), 4–28

Eli Wuria Dewi, S.H.,2015, Hukum Perlindungan Konsumen, Yogyakarta, Graha Ilmu.

Ondrus, J., & Pigneur, Y. (2007). An Assessment of NFC for Future Mobile Payment Systems. International Conference on the Management of Mobile Business (ICMB 2007).

Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 Tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Indonesia.

Putritama, A. (2019). The Mobile Payment Fintech Continuance Usage Intention in Indonesia. Jurnal Economia, XV(2), 243-258.

Smart Card Alliance. (2008). Proximity Mobile Payments Business Scenarios: Research Report on Stakeholder Perspectives. A Smart Card Alliance Contactless Payments,(July), 1–34.

Septiyati. (2019). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA TRANSAKSI DENGAN SISTEM PEMBAYARAN GO-PAY. Jurnal Hukum Adigama, II(1), 1-25.

Wonglimpiyarat, J. (2017). Industri perbankan FinTech: pendekatan sistemik. Tinjauan ke masa depan,19 (6), 590-603.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SESORAH PENGETAN AMBAL WARSA SEKOLAH

DESCRIPTIVE TEXT "MY FAMILY"

ARTIKEL MUSIK ZAMAN BAROK